Candi Badut
Candi Badut adalah sebuah candi yang
terletak di kawasan Tidar, arah menuju Institut Teknologi Nasionaldi bagian
barat kota Malang.
Dapat ditempuh dengan kendaraan umum jurusan Tidar. Lokasinya bisa dilihat
di Wikimapia.
Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun
dan diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana
yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi.
Kata Badut di sini berasal dari bahasa
Sanskerta Bha-dyut yang berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot
Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan
arca tidak nyata dari Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni. Pada
bagian dinding luar terdapat relung-relung yang berisi arca Mahakal dan
Nadiswara. Pada relung utara terdapat arca Durga Mahesasuramardhini. Relung
timur terdapat arca Ganesha. Dan disebelah Selatan terdapat arca Agastya yakni
Syiwa sebagai Mahaguru. Namun di antara semua arca itu hanya arca Durga
Mahesasuramardhini saja yang tersisa.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya
pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang
pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher,
seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun
kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan
Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu
diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki
yang masih dapat dilihat susunannya.
Candi Borobudur
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.
Lokasi candi adalah kurang lebih 100km di
sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi berbentuk stupa ini
didirikan oleh para penganut agamaBuddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada
masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk
bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya
dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[1]Stupa
utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi
oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca
buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun
sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempatziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[2] Para
peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan
melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan
berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga
tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud),
dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang
terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan
pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa
serta mulai masuknya pengaruh Islam.[3] Dunia
mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur
telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian
situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[4]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[5][6][7]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[5][6][7]
Nama
Borobudur
Dalam Bahasa
Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi;
istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada
semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara,
misalnya gerbang, gapura, dan
petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula
nama Borobudur tidak jelas,[8] meskipun
memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[8] Nama
Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.[9] Raffles
menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen
yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.[8] Satu-satunya
naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha
yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama,
yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[10]
Nama Bore-Budur, yang kemudian
ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris
untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candimemang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi
itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan
dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"–
maka bermakna, "Boro purba".[8]Akan
tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari
istilah bhudhara yang berarti gunung.[11]
Banyak teori yang
berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini
kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung"
(bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat
beberapa etimologi rakyat
lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadiborobudur. Penjelasan lain
ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara
ada pula penjelasan lain di mana bara berasal daribahasa
Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara
dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan
dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi
maksudnya ialah sebuah biara atauasrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G.
de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat
bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri
Borobudur adalah raja Mataram dari
wangsa Syailendra bernama Samaratungga,
yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa
itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk
memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. [12] Istilah Kamūlān sendiri
berasal dari kata mulayang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk
memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta
yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa",
adalah nama asli Borobudur.[13]
Lingkungan
Sekitar
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil)
barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit
pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung
Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di
sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di
sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta
candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai
Progo dan Sungai Elo di sebelah
timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran
Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan
disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan
tanahnya.[14]
Tiga
Serangkai Candi
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan
Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20
ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu
garis lurus.[15] Awalnya
diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk
setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di
kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik
adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng
belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari
ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan
langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama
yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini.
Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan
ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[10]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur
juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai
temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar
Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di
sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur,
yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di
sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon. Pada candi ini
ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik
yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan
tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin
dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke
Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Danau
Purba
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas
tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m(870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah
mengering.[16] Keberadaan
danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada
abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan
di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu
Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa
Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan
bunga teratai yang
mengapung di atas permukaan danau.[11] Bunga
teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala(teratai
biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua
ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang
regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk
arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di
Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah
keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia
Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan
kelopak bunga teratai.[16] Akan
tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak
menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah
ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar
Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar
danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung
pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di
dekat situs ini.[17] Sebuah
penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang
dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar
Borobudur,[16] yang
memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun
berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat
Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad
ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil
turut merubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk
danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung
Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak
masa Pleistosen.[18]
Pembangunan
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan
siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.[19] Waktu
pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang
tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim
digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur
dibangun sekitar tahun 800 masehi.[19] Kurun
waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan
wangsa Syailendra di
Jawa Tengah,[20] yang
kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 tahun dan dirampungkan
pada masa pemerintahan Samaratungga pada tahun 825.[21][22]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja
yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra
diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi
melalui temuan prasasti Sojomertomenunjukkan bahwa mereka
mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[21] Pada
kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran
Kedu. Berdasarkan Prasasti
Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan
bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan
Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari
Borobudur.[23] Candi
Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan
candi-candi diDataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur
diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal
sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar
tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha termasuk
Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai
Panangkaranmemberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.[24] Bahkan
untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas
Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi
Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[24] Petunjuk
ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak
pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja
penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha,
demikian pula sebaliknya.[25] Akan
tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa
itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang
memuja Siwa yang
kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di
perbukitan Ratu Boko.[26] Ketidakjelasan
juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai
jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra,[26] akan
tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan
yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga
terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[27]
Tahapan
Pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal
Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga
massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan
kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar
stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa
induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
~Tahap
pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti
(diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur
dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar
diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit,
bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai
cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu
lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya
dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada
tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur
asli piramida berundak.
~Tahap
kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan
satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat
besar.
~Tahap
ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas
lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak
lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada
pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya.
Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang
membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog
menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar
memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu
berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut
diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian
atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam
longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk
tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang
dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk
menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki
tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi
bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh
keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
~Tahap
keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief,
penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang
pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur
diterlantarkan
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama
berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian
ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar
menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga
kini masih misteri. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini
tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006,
Raja Mpu
Sindokmemindahkan ibu kota kerajaan Medang ke
kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung
berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur
ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin
Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.[3][16]Bangunan
suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam
naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa
kerajaan Majapahit.
Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976)
juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan
sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.[3]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui
dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau
menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan,
kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah
Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana,
pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[3] Disebutkan
bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan
dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan
Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra
mahkota Kesultanan Yogyakartayang mengunjungi monumen
ini pada 1757.[28] Meskipun
terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang
Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam
kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)".
Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia
sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan
bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan
dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau
kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu
situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak
terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah
penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan
Kembali
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam
memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada
kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk
sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah
Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan
mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya
dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan
inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah
monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.[28] Karena
berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi
sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang
insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua
bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar
yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur
candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan
semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan
berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan
beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini,
serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[9]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda
di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh
bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas
kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha
besar di stupa utama.[29] Pada
1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap
menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia
Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda
bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief.
J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas
monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan
artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya
Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda
kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan
sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian
lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam
bahasa Perancis setahun kemudian.[29] Foto
pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[30]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk
waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan
bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala
arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh
arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan
oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak
ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi
incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882,
kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya
dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil,
ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.[30] Akibatnya,
pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan
menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini;
laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar
bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan. Pada tahun
1896, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dihadiahkan
kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang
mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) sebagai hadiah
dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885,
ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki
tersembunyi.[31] Foto-foto
yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[32] Penemuan
ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga
kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri
atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni,
Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van
de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga
langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang
mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan,
memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar
langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama.
Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase
dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar
harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu
yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan
pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911,
menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin
Theodor van Erp.[33]Tujuh
bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk
menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan
membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam
prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan
proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden.
Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti
merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai
puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada
masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan
sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri
bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak
Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga
Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya
memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak
memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring
dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[33] Van
Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan
kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu
candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi
tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan
permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi
melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur
dibuat.[34] Pemerintah
Indonesia dan UNESCOmengambil
langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara
tahun 1975 dan 1982.[33] Pondasi
diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan
dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem
drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan
kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan
monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[35] Setelah
renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[4] Borobudur
masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia
yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai
manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia,
dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan
tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dab
jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan
gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra
yang memiliki makna universal yang luar biasa".[4]
Peristiwa
Kontemporer
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang
didukung oleh UNESCO,[34] Borobudur
kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada
saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia
memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama
peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat
kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur
nasional di Indonesia[36] dan
upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan
dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.[37]
Pada 21 Januari 1985, sembilan
stupa rusak parah akibat sembilan bom.[38] Pada
1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al
Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian
serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi
Borobudur.[39] Dua
anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada
tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling
banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang
36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[6] Angka
ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah
wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia 1997.[7] Akan
tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat
sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[6] Pada
2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar
pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah
provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut
'Java World'.[40] Upaya
masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata
Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan
tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan
pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan
bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata
sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan
jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua
ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala
mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan
dengan korban terbanyak di Yogyakarta,
akan tetapi Borobudur tetap utuh.[41]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of
Civilizations (jejak peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur
Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan
UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand,
Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur.
Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik
gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur.
Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan
beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri
Presiden Republik Indonesia.
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting
dalam upaya pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh
pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan
pengembalian bagian-bagian yang hilang.[42] Tanah
yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan
struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak
saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak
bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan.[42] Meningkatnya
popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga
Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh
apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga,
vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering
terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk
membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap
kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.[42]
Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung
Merapi pada Oktober adan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi
menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mil) arah
barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan
2,5 sentimeter (1 in)[43] menutupi
bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di
sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat
asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5
sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.[44][45]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah
letusan Merapi 2010, UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS
untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu
vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan
kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan
terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.[46] Lebih
dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air
dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi
berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[47]
Konsep
Rancang Bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila
dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar.
Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam
Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang
secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu
konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.[48] Bagaikan
sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang
harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi
Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini
memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga
teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan
struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[31] Kaki
tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang
merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.[49] Kaki
asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang
cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa
penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen.[49] Teori
lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki
asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India
mengenai arsitektur dan tata kota.[31]Apapun
alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini
dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan
teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi
Buddha adalah:
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu,
yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu
rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga
dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup
struktur tambahan ini terdapat 160 panel ceritaKarmawibhangga yang kini
tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan
sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur
batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000
meter kubik.[2]
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling
yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli
dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari
empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km
dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.
Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam
bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha
terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar.
Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang
sisi luar di pagar langkan.[2] Pada
pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan
dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah
dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai
stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan
ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya
akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief.
Tingkatan ini dinamakanArupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak
berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan
dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada
pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam
tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa
kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing
berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih
besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya
sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung
Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam
kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun
ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud,
yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan
wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi.
Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah
ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak
rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian
lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak
selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut
kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh
dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan
banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna
kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna
dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta
terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur
Bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut
dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[50] Batu
ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa
menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali,
melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti
balok-balok lego yang
bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang
yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang
mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan
dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang
cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah
genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing
dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi
lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit
alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di
Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong
dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang
bangun Borobudur mirip denganpiramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha
diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.
Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa,
daripada kuil atau candi.[50] Stupa memang
dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun
sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau
candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari
monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur
bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek
misterius ini.[51] Namanya
lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti
bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan
Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini
menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran
perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan
ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi
hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari
kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[52] Tentu
saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan
tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan
rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan
formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal geometri
perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.[52][53] Rasio
matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di
dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki
fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga
berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[51]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian:
dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[51] Dasar
berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 m (13 kaki).[50] Tubuh
candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya.
Teras pertama mundur 7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras
berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki), menyisakan lorong sempit pada tiap
tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan
menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat
stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari permukaan tanah. Tinggi asli
Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah
42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah
keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen
melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu
gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang
menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur
pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal
untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga
pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Relief
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali
pada teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat
dengan sangat teliti dan halus.[54] Relief
dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera
estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai
yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha.[55] Relief
Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh
yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia
mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan,bidadari atapun
makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan
boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh
ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada
bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu
pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh
yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang
berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai
panjang.[56]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti
sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan
hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur
tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan
Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief
Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan,
busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat
transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief
terkenal yang menggambarkan Kapal
Borobudur.[57] Kapal
kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala.
Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di
sebelah utara Borobudur.[58]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau
disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang
berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya
ialah timur.
Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu
gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir
di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur
adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya
bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding
dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Bagian Relief
|
|||
Tingkat
|
Posisi/letak
|
Cerita Relief
|
Jumlah Pigura
|
Kaki candi asli
|
-----
|
160
|
|
Tingkat I
|
dinding
|
120
|
|
120
|
|||
langkan
|
a. jataka/awadana
|
372
|
|
b. jataka/awadana
|
128
|
||
Tingkat II
|
dinding
|
128
|
|
langkan
|
jataka/awadana
|
100
|
|
Tingkat III
|
dinding
|
Gandawyuha
|
88
|
langkan
|
Gandawyuha
|
88
|
|
Tingkat IV
|
dinding
|
Gandawyuha
|
84
|
langkan
|
Gandawyuha
|
72
|
|
Jumlah
|
1460
|
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi
secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief
yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum
karma. Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma,
yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu
cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi
gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan
diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan
penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang
tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan
diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan
dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat
disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam
deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang
dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan
wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari
tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27
pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut
hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief
tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran
Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu.
Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang
secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di
sebut dharma yang
juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka
dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum
dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang
membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah
Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang
bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau
perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat
ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan
Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan
ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti
perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana.
Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya
keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling
terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita
Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong
ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa
mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran
Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Arca
Buddha
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang
terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila
dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap
tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat
dari bahan batu andesit.[2]
Patung buddha dalam relung-relung di
tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan.
Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama
terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris
keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca
Buddha di tingkat Rupadhatu.[1] Pada
bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan
di dalam stupa-stupa
berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa,
pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya
total 72 stupa.[1] Dari
jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan
tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering
dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).[59]
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat
serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau
posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan,
Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut
ajaran Mahayana.
Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan
Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima
dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas
menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudramelambangkan
lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.[60]
Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan
mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka mudra arca-arca
buddha di Borobudur adalah:
Arca
|
Mudra
|
Melambangkan
|
Dhyani Buddha
|
Arah Mata Angin
|
Lokasi Arca
|
Bhumisparsa mudra
|
Memanggil bumi sebagai saksi
|
Timur
|
Relung di pagar langkan 4 baris
pertama Rupadhatu sisi timur
|
||
Wara mudra
|
Kedermawanan
|
Selatan
|
Relung di pagar langkan 4 baris
pertama Rupadhatu sisi selatan
|
||
Dhyana mudra
|
Semadi atau meditasi
|
Barat
|
Relung di pagar langkan 4 baris
pertama Rupadhatu sisi barat
|
||
Abhaya mudra
|
Ketidakgentaran
|
Utara
|
Relung di pagar langkan 4 baris
pertama Rupadhatu sisi utara
|
||
Witarka mudra
|
Akal budi
|
Tengah
|
Relung di pagar langkan baris kelima
(teratas) Rupadhatusemua sisi
|
||
Dharmachakra mudra
|
Pemutaran roda dharma
|
Tengah
|
Di dalam 72 stupa di 3 teras
melingkar Arupadhatu
|
Candi Brahu
Candi Brahu merupakan salah satu candi yang
terletak di Jawa Timur. Lokasi persisnya ada di Dukuh Jamu Mente,
Desa Bejijong atau sekitar 2 kilometer dari jalan raya Mojokerto, Jombang.
Candi ini terletak di dalam kawasan situs arkeologi Trowulan, bekas
ibu kota Majapahit.
Candi Brahu dibangun dari batu bata merah, dibangun di atas sebidang tanah
menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18
m, dan punya ketinggian 20 meter.
Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha.
Candi ini didirikan pada abad 15 Masehi namun terdapat perbedaan pendapat. Ada
yang mengatakan candi ini berusia jauh lebih tua ketimbang candi lain di
sekitar Trowulan.
Asal
Nama
Menurut buku Bagus Arnawa, kata Brahu berasal dari
kata Wanaru atau Warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci
seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan tak jauh dari candi
brahu.
Krematorium
Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok pada tahun
861 Saka atau 9 September 939, Candi Brahu merupakan tempat pembakaran
(krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada
satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi.
Lebih-lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga
1995.
Sekitar
Candi
Mengutip buku Mengenal Peninggalan Majapahit di
Daerah Trowulan oleh Drs IG Bagus Arnawa, dulu di sekitar candi ini banyak
terdapat candi candi kecil yang sebagian sudah runtuh, seperti Candi Muteran,
Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Saat penggalian dilakukan di
sekitar candi, banyak ditemukan benda benda kuno macam alat alat upacara
keagamaan dari logam,
perhiasan dari emas, arca dan
lain-lainnya.
Candi Penataran
Candi Panataran adalah sebuah candi berlatar
belakang Hindu(Siwaitis) yang terletak
di Jawa
Timur, tepatnya di lereng barat daya Gunung
Kelud, di sebelah utara Blitar. Kompleks candi ini merupakan yang terbesar di Jawa
Timur. Candi ini mulai dibangun dari Kerajaan
Kadiri dan dipergunakan sampai denganKerajaan Majapahit. Candi Penataran ini
melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Timur.
Nama asli candi Penataran dipercaya
adalah Candi Palahyang disebut dalam prasasti Palah, dibangun
pada tahun 1194 oleh Raja Çrnga (Syrenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri
Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa yang
memerintah kerajaan Kediri antara tahun 1190 – 1200, sebagai candi gunung untuk
tempat upacara pemujaan agar dapat menetralisasi atau menghindar dari mara
bahaya yang disebabkan oleh gunung Kelud yang sering meletus. Kitab Negarakretagama yang ditulis
oleh Mpu Prapanca menceritakan perjalanan Raja Hayam Wuruk,
yang memerintah kerajaan Majapahit antara tahun 1350 – 1389, ke Candi Palah
untuk melakukan pemujaan kepada Hyang Acalapati yang berwujud Girindra (raja
penguasa gunung).
Kesamaan nama Girindra yang disebut pada kitab
Negarakretagama dengan nama Ken Arok yang bergelar Girindra atau Girinatha
menimbulkan dugaan bahwa Candi Penataran adalah tempat pendharmaan (perabuan)
Ken Arok, Girindra juga adalah nama salah satu wangsa yang diturunkan oleh Ken
Arok selain wangsa Rajasa dan wangsa Wardhana. Sedangkan
Hyang Acalapati adalah salah satu perwujudan dari Dewa Siwa, serupa dengan
peneladanan (khodam) sifat-sifat Bathara Siwa yang konon dijalankan Ken Arok.
Seperti pada umumnya relief candi di Jawa Timur yang
dipahat berdasarkan analogi romantika hidup tokoh yang didharmakan di tempat
tersebut, relief Ramayana dengan tokoh Rama dan Shinta, dan relief
Krisnayana dengan tokoh Krisna dan Rukmini, yang dipahatkan pada dinding candi
Penataran dapat dikatakan mirip dengan kisah Ken Arok dan Ken Dedes.
Ketokohan Ken Arok sendiri masih menjadi kontroversi antara karakter seorang
bandit yang berambisi memperbaiki keturunan setelah mengerti arti cahaya yang
terpancar dari gua garbha milik Ken Dedes yang dilihatnya dan kemudian
membunuh Tunggul Ametung yang menjadi suami sang
nareswari, dengan karakter seorang bangsawan yang mengemban amanat dari Mpu
Purwa yang merupakan ayah Ken Dedes sekaligus keturunan Mpu Sindok untuk
mengembalikan kejayaan kerajaan Kanjuruhan yang ditaklukkan oleh kerajaan
Kediri, dengan dukungan kalangan brahmana dari kedua kerajaan. Alkisah seluruh
mpu dari kerajaan Kediri berpindah ke wilayah Tumapel sebelum Ken Arok membunuh Tunggul
Ametung dan menjadi penyebab kekalahan Kediri dalam peperangan
melawan Tumapel di
wilayah Ganter pada tahun 1222. Dibunuhnya Mpu
Gandring yang tidak menyelesaikan keris pesanan Ken Arok pada waktunya
konon juga berkaitan dengan para mpu yang mulai meninggalkan kerajaan Kediri sehingga
menimbulkan kecurigaan Ken Arok bahwa Mpu Gandring berpihak pada Kediri. Keris
tersebut kemudian diselesaikan oleh mpu yang lain dengan demikian indah
sehingga menarik perhatian dan mudah dikenali ketika Kebo Ijo memamerkannya
kepada semua orang, sebelum akhirnya keris tersebut digunakan Ken Arok untuk
membunuh Tunggul Ametung.
Kitab Negarakretagama menyebutkan bahwa Ken Arok
dicandikan di daerah Kagenengan, yang dewasa ini masih tersisa sebagai nama
desa di wilayah selatan Kabupaten
Malang, tepatnya di Kecamatan Pakisaji.
Belum dapat dipastikan apakah Desa Kagenengan ini merupakan tempat yang sama
yang disebut dalam kitab Negarakertagama, dan apakah luas daerah ini pada zaman
itu meliputi wilayah Kecamatan Nglegok, tempat Candi Penataran berada.
Gaya
Relief
Selain sebagai komplek percandian terluas, Candi
Penataran juga memiliki kekhasan dalam ikonografi reliefnya.
Gaya reliefnya menunjukkan bentuk yang jelas berbeda dari candi-candi Jawa
Tengah dari sebelum abad ke-11 seperti Candi
Prambanan. Wujud relief manusia digambarkan mirip wayang
kulit, seperti yang bisa dijumpai pada gaya pengukiran yang ditemukan
di Candi
Sukuh, suatu candi dari masa akhir periode Hindu-Buddha dalam sejarah
Nusantara. Candi ini diusulkan dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 19
Oktober 1995.[1]
Candi
Singhasari
Candi Singhasari atau Candi
Singasari atau Candi Singosari adalah candi Hindu - Buddha peninggalan
bersejarahKerajaan Singhasari yang berlokasi
di Desa Candirenggo,Kecamatan
Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur,Indonesia.
Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem
menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan
mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti
saat ini). Candi ini berlokasi di DesaCandirenggo, Kecamatan
Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang)
terletak pada lembah di antaraPegunungan Tengger dan Gunung
Arjuna di ketinggian 512 m di atas permukaan laut.
Di Wikimapia [1].
Menurut
Negarakertagama
Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagamapupuh 37:7 dan
38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal1351 M di halaman
komplek candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi
raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara,
yang mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentaraGelang-gelang yang dipimpin
oleh Jayakatwang.
Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.
Struktur
Dan Kegunaan Bangunan
Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan
terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca
raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut Dwarapala)
dan posisi gadamenghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun
penjaganya raksasa tetapi
masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat
datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di
tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan.
Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik
ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di
puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat
gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati) sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga
oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga
oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga
oleh Batari
Gori (atau Gaurī). Karena letak candi Singhasari yang sangat
dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung
Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan
gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu
itu.
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit,
menghadap ke barat, berdiri pada alas bujur
sangkarberukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan
ornamen ukiran, arca, dan relief. Di
dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula
bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durgayang sudah
hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta
sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini
juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang
ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan,Leiden, Belanda,
kecuali arca Agastya.
Pemugaran
Dan Usaha Konservasi
Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia
Belanda pada awal abad ke-20 dalam
keadaan berantakan. Restorasi dan pemugaran dimulai tahun 1934 dan bentuk
yang sekarang dicapai pada tahun 1936.
2 Comments
mantap postingannya...
ReplyDeletethank`s...
ReplyDelete